Oleh : Hasan Syukur.
DEWASA ini ada kecenderungan untuk meminggirkan Islam politik dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Caranya beragam. Ada yang mencitrakan Islam sebagai teror, ada yang membuat rekayasa kriminalisasi terhadap tokoh dan ormas/orpol Islam. Tujuannya, agar bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini phobia terhadap Islam politik.
Kenapa Islam Politik ? Karena Islam tak bisa dipisahkan dengan politik. Bukankah Rasulullah itu Kepala Negara sekaligus Panglima Perang, Bukankah larangan memilih pemimpin non muslim itu politik ? Bukankah para syuhada yang wafaat ketika mempertahankan NKRI itu politisi ?
Sikap Islamo phobia ini tidak datang tiba-tiba. Bila ditelusuri akarnya sudah terhunjam sejak jaman kolonial Belanda. Sejak Snouck Hurgronje diangkat menjadi Penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tugasnya : bagaimana agar ummat Islam menjauhkan diri dari dunia politik. Alasannya masuk di akal, kalau ummat Islam berpolitik merupakan ancaman potensial terhadap eksistensi kekuasaan kolonial.
Hurgronje menasihatkan kepada Gubernur jenderal, bahwa Islam tidak bisa dianggap remeh, baik sebagai kekuatan agama maupun sebagai kekuatan politik. Orang Indonesia begitu erat kaitannya dengan Islam, termasuk kuatnya jalinan dengan politik. Karena itu yang harus dianggap sebagai musuh bukanlah Islam sebagai agama melainkan Islam sebagai ajaran politik. Secara ringkas rekomendasi Snouck berdasarkan kepada tiga prinsip :
Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan atau aspek ibadah dari Islam, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Logika di balik kebijakan ini adalah terbentuknya opini publik, bahwa pemerintah tidak ikut campur tangan dalam keimanan mereka. Dengan bersikap demikian, pemerintah akan berhasil merebut simpati kaum muslimin, menjinakan lalu mengurangi kalau tidak menghapuskan sama sekali pengaruh perlawanan kaum muslimin.
Kedua, lembaga-lembaga sosial Islam, yang mengurus aspek muamalat seperti perkawinan, waris, wakaf dan hubungan-hubungan sosiai lainnya, pemerintah harus menghormati keberadaannya. Meskipun demikian, pemerintah harus berusaha menarik minat pribumi terhadap berbagai aspek kebudayaan Barat. Hal itu dilakukan dengan harapan mereka menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam itu dengan lembaga-lembaga sosial model Barat. Targetnya hubungan yang lebih erat antara penguasa Belanda dengan Hindia Belanda dengan rakyat Hindia Belanda akan tetap terpelihara
Ketiga, dalam masalah-masalah politik, pemerintah dinasihatkan bertindak tegas, melarang kegiatan apapun yang dilakukan kaum muslimin yang dapat menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Pemangkasan gagasan ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam yang bersipat politis yang menjadi ancaman terbesar terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Untuk mencapai tujuan itu, Hurgronje menekankan perlunya pendidikan dan kebudayaan model Barat terutama bagi kaum bangsawan Indonesia. Baginya kelompok ini paling strategis untuk ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat. Menurut pengamatan Hurgronje, rakyat Indonesia sangat patuh kepada bangsawan. Karena itu menurut Hurgronje, para bangsawan Indonesia yang terdidik yang sebagian besar adalah kaum muslimin yang apresiasi keagamannya sedang-sedang saja akan menjauh dari Islam dan akan memainkan peran besar dalam mengantarkan Indonesia menuju dunia model Barat yang sekularistis. (Alwi Shihab, Membendung Arus 1995).
Tujuan Hurgronje dengan nasihatnya meminggirkan Islam politik itu untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan kolonial di Indonesia. Hurgronje yang sebelum ditugaskan di Indonesia berhasil mensekularkan Turki itu sempat “nyantri” dulu selama tujuh bulan di Mekah Saudi Arabia. Dengan nama samaran Abdul Gafar ia mempelajari Islam di mana letak kekuatan dan kelemahannya. Berdasarkan hasil risetnya bukan saja ia berhasil membelandakan kaum priyayi, tapi juga memangkas akar budaya Indonesia lalu mencangkokan dengan budaya barat.
Toh, setelah kolonial Belanda terusir dan Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka yang berdaulat, nasihat Hurgronye tetap saja dipertahankan. Bahkan sikap Islamopobia semakin mencuat di kalangan penguasa pribumi dibandingkan pada jaman pemerintahan kolonial. Themanya sekarang, Islam anti Pancasila. Caranya dengan medikhotomikan Islam dengan Pancasila.
Padahal dalam kehidupan sehari-hari ummat Islam paling konsisiten melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Tak ada satupun dari sila-sila Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Bahkan dalam sila ketuhanan yang maha esa, definisi yang paling jelas tercantum dalam pembukaan UD 45 dengan kalimat “atas Rahmat Allah Yang Maha Esa...” Meskipun Piagam Jakarta dicoret pada sidang BPUPKI diakui oleh tokoh-tokoh Islam di BPUPKI Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai tauhid. Sumpah jabatan pun diawali dengan “Demi Allah ........”.
Bertitik tolak dari Paancasila dengan sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara, maka memasukkan Partai Komunis sebagai partai yang sah di republik ini merupakan pelanggaran prinsipil, sebab Komunisme adalah paham atheis sebuah paham yang tak mepercayai adanya Tuhan. Inilah kekeliruan sejarah, kenapa Bung Karno bukan saja melegalkan PKI bahkan merangkulnya sebagai sahabat sejati dalam Nasakom. Di sinilah awal peminggiran Islam dari Pancasila.
Kebijakan untuk meminngirkan Islam dari ranah politik sangat kental pada waktu pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Melalui pertarungan yang menyita waktu, Presiden Soekarno akhirnya berhasil membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi lalu menggiring para pengurusnya ke penjara tanpa melalui sidang pengadilan. Sebelum itu di Konstituante terjadi perdebatan sengit untuk menentukan dasar negara apakah Islam atau Pancasila. Tatkala hampir terjadi kompromi, Soekarno tiba-tiba mendekritkan kembali ke UUD 45, dengan embel-embel “Piagam Jakarta menjiwai batang tubuh UUD 45”.
Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto menggiring Parpol-parpol Islam untuk berfusi. Setelah situasi kondusif berlakulah asas tunggal Pancasila. Artinya parpol bahkan ormas apapun tidak boleh mencantumkan asas selain Pancasila. Maka perjuangan Islam politik pun tamat. Tidak berhenti di situ. Seratus anggota parlemen diangkat tanpa melalui Pemilihan Umum. Dengan demikian Partai Islam tak lagi berpeluang memenangkan aspirasinya di parlemen, sebab bila divoting, pasti kalah.
Sementara itu untuk program deislamisasi berlenjut, stigma Islam sebagai kekuatan radikal untuk mengganti dasar negara Pancasila dengan kriminalisasi. DI/TII Kartosuwiryo yang sebenarnya sudah selesai dengan “pagar betis” dijadikan hantu yang menakutkan mulai dari neo DI, NII “komando Jihad (belakangan diakui organisasi ini didirikan oleh Penasihat Presiden Jenderal Ali Murtopo), sampai teroris. Fitnahpun merebak. Sejumlah ulama dan aktivis Islam digiring ke penjara. Seiring dengan itu ribuan masjid dibangun melalui Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang diketuainya oleh Soeharto sendiri. Tapi dibalik itu pengajian dan khutbah berbau politk dilarang bahkan perempuan pelajar sampai pegawai negeri dilarang berjilbab.
Tapi harus diakui, kelemahan ada di pihak politisi Islam juga. Ketika di era reformasi keran demokrasidibuka, sebenarnya ini peluang untuk bangkit mengaktualisasikan dirinya. Sayangnya yang muncul semangat firqah dan ashobiyah. Yang muncul jago-jago kandang bukan figur negarawan muslim yang bisa diterima berbagai pihak.
Di lain pihak, upaya meminggirkan Islam Politik semakin canggih. Ummat Islam kembali menghadapi ujian berat. Skenario global untuk menyudutkan ummat Islam digelar. Gedung WTC di New York AS diledakkan Konon oleh Teroris Muslim. Perang global atas nama perang membasmi terorisme pun digelar dan dikomandoi oleh negara adi daya Amerika Serikat.
Citra Islam yang modern, humanis dan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamien) itu tiba-tiba berubah menjadi sosok yang menakutkan . Sementara itu, keteladan semakin langka. Maka sebagian ummat banyak yang bersikap pragmatis meninggalkan partai politik Islam. “Lebih aman bernaung di bawah partai sekular”. Islam tergradasi menjadi sebuah agama ritual yang hidup di masjid-masjid, pengajian-pengajian yang mengajarkan Islam secara kaffah tak lagi menjadi daya tarik. Tragis, memang. Partai-partai Islam menjadi minoritas di negeri muslim terbesar di dunia.
Tapi optimisme harus tetap dikobarkan : Wamakaru, wama karullahu chairi maakirin. Mereka membuat rekayasa, Allahpun membuat rekayasa dan rekayasa Allahlah yang paling baik. Saatnya belajar dari sejarah, untuk kemudian bangkit menjadi chairu ummah yang mengarahkan bangsa ini menuju negara baldatun toyyibatun wa robbun ghafur.***